Senin, 09 Agustus 2010

Gemerlap Lentera Tradisi Tumbilotohe

TUMBILITOHE adalah tradisi unik yang masih dipertahankan oleh masyarakat Gorontalo sejak abad ke-15. Dalam Tumbilitohe, warga Gorontalo menyalakan lentera-lentera kecil sehingga Kota Gorontalo menjadi gemerlap. Tradisi ini dilaksanakan sejak tiga hari menjelang Idul Fitri atau 27 Ramadan hingga malam hari raya.

Lokasi
Tradisi Tumbilitohe dilaksanakan di Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo, Indonesia.

Gambaran Umum
Tumbilotohe dalam bahasa Gorontalo terdiri dua suku kata, yaitu tumbilo yang berarti memasang dan tohe berarti lampu atau lentera. Jadi, Tumbilotohe berarti acara memasang lentera. Menurut sejarah, Tumbilotohe merupakan tradisi masyarakat Gorontalo masa lentera yang sudah berlangsung sejak abad ke-15.

Dulu, Tumbilotohe dilaksanakan untuk memudahkan umat Islam dalam memberikan zakat fitrah pada malam hari raya. Pada masa itu, lentera dinyalakan dengan bahan bakar damar dan getah pohon yang mampu menyalakan api dalam waktu lama. Namun sekarang masyarakat menggunakan bahan bakar minyak tanah.

Lentera-lentera digantung pada kerangka-kerangka kayu yang dihiasi dengan janur kuning (hiasan yang terbuat dari daun kelapa muda). Masyarakat juga menggantung buah pisang sebagai lambang kesejahteraan dan batang tebu sebagai lambang kemanisan, keramahtamahan, serta kemuliaan menyambut hari raya Idul Fitri.

Saat lentera-lentera itu dinyalakan, hampir seluruh tempat menjadi gemerlap. Kantor-kantor pemerintah, masjid, halaman rumah warga, seluruhnya menjadi gemerlap. Bahkan, di sawah dan lahan-lahan kosong pun dipenuhi dengan lentera.

Beberapa orang yang kreatif membuat berbagai formasi dari lentera membentuk gambar masjid, kitab suci Alquran, dan kaligrafi yang sangat indah dan mempesona. Tumbilitohe juga menarik ketika warga mulai membunyikan meriam bambu atau atraksi bungo.

Akses
Untuk menyaksikan Tumbilitohe, Anda hanya cukup datang ke Kota Gorontalo tiga hari menjelang Idul Fitri.

sumber : orbit99tours.blogspot.com

Minggu, 08 Agustus 2010

TRADISI PUKUL SAPU: Warisan Telukabessy di Negeri Seribu Bukit

MALUKU, KOMPAS — Sebanyak 40 pria berbadan kekar berjalan tegap memasuki arena di pelataran Masjid Besar Morella diiringi teriakan penonton. Mereka bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek dan ikat kepala merah serta menggenggam seikat lidi enau.
Mereka adalah petarung yang akan menghadirkan jejak perjuangan Kapitan Telukabessy melalui atraksi pukul sapu.

Tradisi pukul sapu digelar sekali setahun pada 7 Syawal. Tahun ini digelar pada 8 Oktober. Budaya yang telah bertahan ratusan tahun ini berakar pada perjuagan Kapitan Telukabessy yang memimpin perjuangan rakyat Maluku melawan VOC tahun 1636-1646. Setelah dikalahkan , Kapitan Telukabessy dihukum mati . Pasukannya kemudian membubarkan diri dengan cara pukul sapu.
Tradisi ini kemudian bertahan hingga kini di Desa Morella dan Mamala, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku . Para pemuda dan lelaki dewasa ikut dalam pukul sapu di Morella dan Mamala. Ikut pukul sapu merupakan kebanggaan dan ujian kejantanan sebagai seorang laki-laki.
Acara itu ditonton oleh ribuan warga Maluku dan beberapa wisatawan mancanegara. Peserta dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing terdiri dari 20 orang. Tiap petarung berdiri berhadapan dengan petarung dari kelompok lain di tengah arena berukuran lapagan bola kaki. Tiap orang memegang batang lidi enau untuk disabetkan. Lidi diganti baru jika rusak atau patah.
Kelompok yang mendapat giliran memukul, mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak sebatang lidi. Peserta dari kelompok lawan berdiri sambil mengangkat lidi di atas kepala dan membiarkan bagian tubuhnya untuk disabet lidi. Saat wasit meniup pluit, para peserta menyabetkan lidi ke tubuh lawan diiringi teriakan penggugah semangat.
Sabetan lidi meninggalkan bilur-bilur pada kulit pinggang, dada, dan punggung. Darah keluar dari kulit yang robek. Kerenyitan menahan sakit tampak di wajah para peserta. Giliran memukul berganti setelah lawan mundur terpojok kedekat penonton yang mengelilingi arena.
“Dalam tradisi ini tidak ada dendam, karena pukul sapu merupakan simbol persaudaraan. Para pejuang dari berbagai daerah di Maluku, Gowa (Sulawesi Selatan) dan Mataram (Jawa) pernah bersatu melawan penjajah di sini, “ tutur Abdul Kadir Latukau, Raja Negeri Morella.
Luka-luka di tubuh peserta pukul sapu merupakan simbol untuk mengenang persatuan para pejuang di bawah pimpinan Kapitan Telukabessy.
Perang Kapahaha
Dalam buku acara dipaparkan, perang berawal dari pengepungan Benteng Kapahaha milik warga Maluku dan pendirian markas VOC di Teluk Sawatelu pada tahun 1636. Pada puncak perang yang terjadi tujuh hari tujuh malam, para pejuang terdesak karena diserang dari darat dan tembakan meriam kapal-kapal VOC, Benteng Kapahaha akhirnya dikuasai Belanda, tetapi Kapitan Telukabessy lolos.
Pejuang yang tertangkap ditawan di Teluk Sawatelu dan sebagian dibawa ke Batavia. Telukabessy diberi pilihan, menyerahkan diri atau para tawanan dibunuh. Pada 19 Agustus 1946, Telukabessy menyerahkan diri ke Komandan Verheijden. Ia dihukum gantung oleh Gubernur Amboina Gerard Demmer di Benteng Victoria Ambon pada 13 September 1946.
Para tawanan yang ditawan selama tiga bulan dibebaskan pada 27 Oktober 1946. Para pejuang kemudian pulang ke daerah asal masing-masing. Pada upacara pelepasan, selain terian adat dan lagu-lagu daerah , juga dilakukan acara pukul sapu oleh para pemuda Kapahaha.
Atraksi budaya ini menarik wisatawan mancanegara. Dua wisatawan dari Inggris dan Belanda ikut dalam acara pukul sapu di Mamala. Mereka merasakan sabetan lidi enau dan diobati oleh minyak mamala.
“Rasanya tidak terlalu sakit. Ini luar biasa bisa ikut acara ini. Semoga minyak mamala bisa menyembuhkan luka-luka ini,” ujar Tom William (65) dari Inggris.
Menurut seorang pemuda Mamala, Hanfry (26), rasa sakitnya seperti terkena setrum listrik. Setelah diolesi minyak mamala, rasanya hangat walau sakitnya tetap terasa. Setelah tiga hari, luka akan kering dan sembuh.
Minyak mamala terbuat dari minyak kelapa yang diberi doa-doa secara Islam oleh para tetua adat dan pemuka agama di rumah Raja Mamala. Di Morella, luka sabetan diobati dengan getah jarak.
Tradisi pukul sapu penuh dengan petuah untuk saling menjaga persatuan dan persaudaraan. Petuah yang tercantum dalam kapata (syair) kuno di Mamala dan Morella itu diharapkan bisa menyatukan setiap anak negeri di wilayah penuh bukit itu. Kerukunan diharapkan akan memajukan daerah pengjasil ikan , pala, cengkeh, coklat, dammar, rotan, dan sagu itu. (AGUNG SETYAHADI)
(Sumber KOMPAS, 19 Oktober 2008)

KOLOLI KIE, (Tradisi Ritual Adat Mengelilingi Pulau Ternate Sambil Ziarah Beberapa Makam Keramat)

Penulis : Busranto Abdullatif Doa
Foto : Maulana, Mukhsin & R. Fahmi

PENGANTAR

Setiap penduduk asli di pulau Ternate di Provinsi Maluku Utara pasti pernah mendengar dan tahu arti dari kata  “Kololi Kie” yaitu sebuah kegiatan ritual masyarakat tradisional untuk mengitari atau mengililingi gunung Gamalama sambil menziarahi beberapa makam keramat yang ada di sekeliling pulau kecil yg memiliki gunung berapi ini.

Menurut sejarawan  terkenal Leonard Andaya (dalam Reid, 1993: 28-29), bahwa ancaman berupa bencana alam yang ditimbulkan oleh sebuah gunung berapi terkadang dapat melahirkan satu tradisi yang khas. Beberapa kawasan di Asia Tenggara, termasuk di daerah Maluku Utara, gunung terutama gunung berapi aktif dianggap sebagai representasi penguasa alam.
Oleh sebab itu, keberadaan gunung selalu dihormati dengan cara melakukan beberapa ritual tertentu. Sebuah gunung dianggap mewakili sosok yang mengagumkan sekaligus mengancam, sehingga diperlukan upacara penghormatan supaya keberadaannya menjamin ketentraman, keamanan, dan keberadaan masyarakat di sekitarnya. Demikian menurut Leonard Andaya.

Dalam perspektif ini, ritual adat kololi kie ini memiliki makna ganda selain merupakan tradisi yg selalu dilakukan leluhur jaman dahulu untuk menjiarahi beberapa tempat yang dianggap keramat juga merupakan upaya untuk menjauhkan masyarakat Ternate dari berbagai ancaman bencana dari gunung berapi Gamalama tersebut. Hal seperti ini juga terjadi di beberapa gunung di pulau Jawa, Sumatera dan tempat lain di nusantara ini.

Pulau Ternate jik
a dilihat dari aspek topografis, berbentuk bulat kerucut (strato vulkano) yang luas diagonal pulau kecil ini dari arah utara ke selatan sepanjang 13 km dan dari arah barat ke timur sepanjang 11 km, dengan panjang bibir pantai keliling pulau kurang lebih 55 km dengan bentangan luas seluruh daratan pulau adalah 92,12 km2.
Dengan kondisi geografis demikian, maka sudah pasti bahwa jika kita mengelilingi “gunung Gamalamaharuslah dilakukan dengan mengelilingi pulau Ternate tersebut. Terdapat dua jalur untuk mengelilingi pulau kecil ini, yakni melalui jalur laut (kololi kie toma ngolo) dan atau melalui jalur darat (kololi kie toma nyiha). Gunung Gamalama merupakan satu-satunya gunung yang bertengger di pulau tersebut yang hingga saat ini masih merupakan gunung berapi aktif dengan ketinggian saat ini kurang lebih 1.730 m dari permukan laut.

PENGERTIAN & MAKNA FILOSOFI

Secara etimologi, kata “Kololi Kie” berasal dari bahasa asli Ternate yakni gabungan dari dua kata, yaitu ; kata “” yang berarti keliling atau mengintari dan kata “kie” yang berarti gunung, pulau, darat atau juga berarti daratan. Jadi, pengertian kata Kololi Kie secara umum bermakna; kegiatan mengitari atau mengililingi pulau/gunung. Ada istilah lain yang mempunyai arti serupa yang juga populer di masyarakat Ternate terhadap kegiatan kololi kie ini, yaitu “Ron Gunung“.

Ritual kololi kie ini sudah dilakukan oleh masyarakat Ternate sejak ratusan tahun lalu. Ritual adat ini merupakan salah satu dari dua ritual tertua yang dianggap satu paket, yakni ritual “Fere Kie” yaitu kegiatan ritual naik ke puncak gunung Gamalama untuk berziarah. (tentang ini akan dibahas dalam tersendiri sedudah tulisan ini).

Tradisi ritual adat kololi kie ini, jika dilihat dari sisi “route” yang dilalui, maka terdapat dua jalur yang bisa dilalui, yaitu; melalui jalur laut dan melalui jalur darat.
1). Melalui Jalur Laut, (=Kololi kie toma ngolo).
Kendaraan yang dugunakan pada kegiatan ritual adat kololi kie toma ngolo ini adalah perahu atau kapal ukuran sedang. Saat ini biasanya menggunakan perahu atau kapal bermotor, sedangkan pada jaman dahulu hal itu dilakukan dengan menggunakan perahu tanpa mesin, yakni mendayung dengan tangan.
2). Melalui Jalur Darat, (=Kololi kie toma nyiha / nyiho).
Kololi kie toma nyiha (sering disebut juga nyiho) biasanya dilakukan dengan dua cara, yaitu; dengan menggunakan kendaraan (mobil atau motor) dan dengan berjalan kaki, tapi yang terakhir ini sudah jarang diklakukan lagi.

Jika dilihat dari aspek “niat” atau “hajat” untuk melaksanakan ritual ini, maka ritual adat kololi kie ini dibagi atas tiga kategori, yaitu ; niat atau hajat perorangan, hajatan kelompok, dan hajatan besar dari pihak kesultanan.
1). Niat atau Hajatan Perorangan
Hajat perorangan biasanya dilakukan oleh seseorang apabila mencapai apa yang dicita-citakannya tercapai, maka ia ber-nazar akan melakukan ritual adat kololi kie ini sebagai ungkapan rasa syukur atas apa yang telah diberikan oleh Allah SWT. Selain melalui sholat, masyarakat tradisional Ternate juga menziarahi para leluhur mereka yakni ke makam-makam dan keramat para sufi, para mubaligh dan tempat-tempat yang dianggap “Jere” (makam keramat beberapa ulama tasawuf Ternate jaman dahulu) yang dalam bahasa Ternate ulama tasawuf ini disapa “Joguru Lamo” atau ’”Khalifahyang makam keramatnya tersebar di sekelilingi pulau ini.

Pada ritual adat kololi kie kategori niat atau hajat perorangan ini biasanya jarang dilakukan melalui laut, tapi kebanyakan melalui darat dengan menggunakan kendaraan darat baik mobil atau motor. Ritual adat ini biasanya dilakukan oleh seseorang apabila ia hendak merantau atau kembali ke kampung halaman setelah sekian lama merantau, atau juga mereka yang hendak melakukan pernikahan, atau sembuh dari penyakit yang lama diseritanya.

Hingga saat ini masih saja ada beberapa calon jemah haji di pulau Ternate yang hendak melakukan ibadah haji ke tanah suci, sebelum belaksanakan rukun haji, mereka juga melakukan kegiatan ritual adat Kololi Kie dan Fere Kie ini dengan niat menziarahi makam atau jere para sufi dan mubaligh Ternate jaman dahulu yang telah berjasa memperkokoh tegaknya syariat Islam di jazirah Moloku Kie Raha yakni di Ternate dan sekitarnya yang menurut pandangan mereka bahwa aqidah Islam yang dianut hingga saat ini dan masih tetap terpelihara turun-temurun hingga sampai pada dirinya yang saat ini hendak menjalankan rukun Islam yang kelima ke tanah suci Mekkah adalah hasil jerih payah para leluhur dalam menegakkan syariat Islam waktu itu.
2). Niat dan Hajatan Kelompok

Pada ritual adat kololi kie kategori niat atau hajatan kelompok kebanyakan dilakukan melalui jalur laut (kololi kie toma ngolo). Maksudnya juga sama yaitu melaksanakan nazar yaitu ungkapan rasa syukur atas apa yang telah diberikan oleh Allah SWT sekaligus menziarahi makam-makam dan jere para sufi. Ritual adat ini biasanya dilakukan apabila kerabat atau keluarga batih ataupun kelompok yang hendak mendirikan rumah, hendak panen rempah-rempah atau mereka yang selamat dari malapetakan, bencana atau wabah.
3). Niat dan Hajatan Besar dari Kesultanan Ternate
Ritual adat kololi kie pada hajatan besar dari kesultanan adalah merupakan kegiatan ritual terbesar yang dilakukan setiap tahun. Ritual adat ini dilakukan secara besar-besaran dan sangat meriah terutama di sepanjang route yang dilaluinya. Route yang dilalui hanya melalui jalur laut, (kololi kie toma ngolo). Kata “toma ngolo” dalam bahasa Ternate berarti “di laut”.
Sedangkan jika dilihat dari aspek “proses verbalitas”, kegiatan ritual adat kololi kie ini, menurut penulis setidaknya terdapat 6 (enam) makna filosofis dan pedagogis yang bisa dielaskan kepada para pembaca dalam deskripsi tulisan ini, diantaranya adalah;
1). Ritual adat kololi kie ini merupakan suatu kegiatan “napak tilas” dari sejarah proses kedatangan dan berlabuhnya tokoh legendaris “Maulana Sayyidinaa Syekh Djaffar Shaddiq” sang pembawa agama Islam pertama kali ke pulau Ternate ini dan kemudian menyebarkan siar Islam ke seluruh jazirah Maluku bagian utara. Sebagaimana yang diyakini oleh masyarakat setempat menurut legenda yang ada bahwa sebelum tokoh ini mendaratkan perahunya di pulau Ternate, beliau terlebih dahulu mengitari pulau ini untuk melihat situasi sekaligus mencari tempat yang pantas untuk berlabuh. Akhirnya “Ake Sibu” atau yang sekarang dikenal “Ake Rica” yang berada di desa / kelurahan Ruwa saat ini, adalah tempat yang dipilih untuk berlabuh ketika itu.

2). Sependapat dengan sejarawan Leonard Andaya yang sudah penulis sebutkan di awal tulisan ini bahwa ada makna lain yang tersirat dari kegiatan ritual adat kololi kie ini. Hal ini merupakan aplikatif dari ungkapan masyarakat dan penduduk pulau ini terhadap sebuah kekuatan alam yang berbentuk ancaman berupa bencana alam yang ditimbulkan oleh gunung berapi Gamalama yang dianggap oleh mereka sebagai representasi penguasa alam. Bagi masyarakat tradisional di Ternate, keberadaan gunung Gamalama harus selalu dihormati dengan cara melakukan beberapa ritual tertentu seperti ritual adat kololi kie ini.
3). Sedangkan makna utama dari ritual adat kololi kie ini adalah aktivitas ritual untuk menziarahi makam dan keramat para auliyah, mubaligh, dan beberapa orang ulama tasawuf Ternate jaman dahulu. Makam-makam keramat mereka ini tersebar di tempat-tempat tertentu di sekelilingi pulau ini, sehingga untuk menziarahi keseluruhannya dalam waktu yang bersamaan, harus dilakukan dengan mengitari pulau tersebut. (orang Ternate menyebut makam-makam para Joguru Lamo di jazirah ini dengan istilah “Jere).
4). Makna verbalistis yang bisa dipetik dari ritual adat kololi kie ini juga adalah mendoakan untuk keselamatan dan kemaslahatan negeri “Limau Gapi” ini baik di darat maupun di laut agar tetap kokoh sebagaimana tegaknya huruf alif dan berada dalam satu wadah laksana sebuah perahu yang bentuk seperti huruf baa, serta mensyukuri atas apa yang telah dilakukan oleh para mubaligh dan para sufi pendahulu di negeri para raja-raja ini, seperti; telah diletakkannya dasar aqidah Islam dan ke-tauhid-an yang tetap ada dan masih dipertahankan hingga anak cucu sekarang ini.
Sikap bersyukur dan ungkapan terima kasih tersebut diekpresikan dengan cara tradisional yakni kegiatan ritual menziarahi tempat-tempat tertentu yang diyakini sebagai tempat makam atau Jere mereka yang berada di sekeliling pulau ini. Kebiasaan inilah yang kemudian menjadi suatu tradisi yang masih dipertahankan hingga saat ini, yang kita kenal dengan ritual kololi kie ini. Menurut saya pribadi sebagai penulis, tradisi ini merupakan asset budaya daerah yang harus tetap dilestarikan oleh Pemda setempat.

5). Ritual adat kololi kie ini adalah juga kegiatan “napak tilas” yang wajib bagi setiap warga pribumi Ternate jaman dahulu, yakni melakukan patroli darat dan laut dari kampung ke kampung untuk berjaga-jaga dan memantau situasi kampung-kampung dan perairan sekitar jikalau adanya ancaman yang datang dari pihak luar terhadap penduduk dan warga pesisir di sekeliling pulau Ternate melalui jalur laut. Hal ini sering dilakukan pada masa lampau oleh pasukan angkatan laut kesultanan Ternate dengan “Armada Kora-Kora” dalam memantau situasi negeri sepanjang pantai dan lautan sekeliling pulau Ternate waktu itu
Makna pedagogis yang tersirat dari tradisi ritual adat ini adalah mengajari kita tentang kewaspadaan territorial nasional dalam artian sempit (khusus lingkungan wilayah territorial kedaulatan kesultanan) atas gangguan-ngangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang datang dari pihak luar.
6). Makna pedagogis yang tersirat lainnnya adalah “kebersamaan“. Mengapa penulis berasumsi demikian? karena sejak mulainya perjalanan ritual ini, tidak ada dari perahu-perahu peserta tersebut yang berkejar-kejaran atau saling mendahului. Semua dalam rasa dan nuansa kebersamaan. Semua sudah tahu dan menyadari bahwa perahu atau kapal yang ditumpangi Sultan adalah yang paling depan dan menjadi penjuru iring-iringan. Perahu yang berseliweran ke kiri atau ke kanan ataupun kadang kadang berubah posisi konfigurasi hanya perahu atau speedboat yang ditumpangi para juru dokumenter yang mengabadikan gambar kegiatan ini, baik melalui handycam maupun dengan camera. namun demikian hampir setiap peserta dalam rombongan juga memiliki peralatan dokumentasi pribadi masing-masing.
Catatan tambahan Penulis :
Bahwa dari makna filosofis dan pedagogis dalam ritual adat ini yang sudah penulis sebutkan di atas, akan terlihat jelas sekali pada tahap-tahap pelaksanaan ritual adat ini. Jika anda berada di Ternate dan ikut serta dalam ritual ini dan perhatikan dengan seksama, tentu anda pasti tahu seperti apa tahap-tahap pelaksanaan ritual adat ini termasuk pembacaan doa-doa khusus di tempat-tempat khusus yang dilewati sepanjang jalur kololi kie tersebut. (dijelaskan pada sub judul tentang tahap-tahap, di bawah…).

Bahwa arah pergerakan semua kegiatan ritual adat kololi kie untuk mengelilingi pulau ini, baik melalui jalur darat maupun melalui jalur laut, adalah dilakukan berlawanan arah dengan putaran arah jarum jam. Penulis yang juga putra daerah asli Ternate pernah beberapa kali turut serta dalam rombongan ritual ini, baik kololi kie toma ngolo maupun kololi kie toma nyiha.
Nara sumber penulis yang minta dirahasiakan identitasnya menjelaskan bahwa arah mengintari atau perputaran dalam ritual adat kololi kie ini yang berputar berlawanan dengan arah jarum jam adalah menyamakan arahnya persis seperti pelaksanaan tawaf oleh jemah haji yang mengelilingi kabah di Mekkah.
Asumsi penulis, putaran arahnya memang sama atau disamakan sejak awalnya mulanya pelaksanaan ritual ini dahulu, tapi hakekat dan makna mungkin berbeda. Wallahu wa’lam ? Tidak ada penjelasan detail dari nara sumber.
Perihal sebutan, orang Ternate menyebut pulau mereka dengan sebutan “Limau Gapi” dan menyebutkan nama gunungnya dengan sebutan “Kie Gam Lamo” (=negeri yang besar) yang merupakan asal kata dari sebutan Gamalama yang kita tahu sekarang ini, kata “Gam Lamo” diucapkan oleh orang Portugis dan Belanda dengan ucapan Gamma de Lamma yang akhirnya diucapkan menjadi Gamalama hingga sekarang ini. Nama gunung ini kemudian dipakai oleh artis serba bisa Dorce Gamalama, setelah mendapat restu langsung dari Sultan Ternate, Drs. H. Mudafar Syah, sesuai pengakuan ybs di acara TV, Dorce Show.
Perihal sebutan orang  Ternate terhadap pulau-p ulau sekitarnya. Misalnya pulau Tidore yang oleh orang Tidore sendiri menyebutnya dengan sebutan “Limau Timore” atau “Todore” dan menyebut gunung Tidore dengan sebutan “Kie Matubu” (=gunung yang tertinggi) namun orang Ternate menyebutnya dengan “Limau Duko”. Orang Ternate juga menyebut pulau Moti dengan sebutan “Limau Tuanane” sedangkan gunungnya disebut “Kie Moti”. Demikian juga orang Ternate menyebut pulau Makian dengan sebutan “Mara” sedangkan gunungnya disebut “Kie Besi”.

TAHAP-TAHAP PELAKSANAAN RITUAL INI

Khusus pada pelaksanaan ritual adat kololi kie toma ngolo (melalui jalur laut), selalu diawali tepat di perairan depan keraton kesultanan Ternate, yakni dari ujung jembatan kesultanan (semacam pelabuhan kerajaan jaman dahulu) yang dikenal dengan nama jembatan “Dodoku Ali” atau “Dodoku Mari”. Walaupun kadang-kadang para peserta menaiki perahu dari pelabuhan Dufa-Dufa, tapi tetap harus menuju ke posisi awal ini untuk mulai pelaksanaan ritual keliling pulau ini.

P eksanaan ritual kololi kie yang dibahas dalam  tulisan ini adalah ritual adat kololi kie pada hajatan besar dari kesultanan yang merupakan kegiatan ritual adat terbesar yang dilakukan setiap tahun, yang menjadi salah satu paket dari upacara adat pesta rakyat yang dikenal dengan “Legu Gam”.
Sebelum rombongan Sultan dan para pembesar kerajaan menaiki perahu masing-masing, Imam Agung Kesultanan di Masjid Sultan Ternate yang bergelar “Jou Qalem” atau “Kadhi” yang akan membacakan doa keselamatan di jembatan ini. Usai berdoa, sultan diikuti para pembesar kerajaan serta para pemimpin soa (kampung) yang bergelar “Fanyira” akan menaiki perahu masing-masing.
Perahu yang ditumpangi Sultan, Permaisuri dan para pembesar kerajaan biasanya dihiasi lebih megah dan memiliki ukuran yang lebih besar dan selama perjalanan senantiasab selalu berada paling depan dari semua rombongan yang turut serta. Perahu besar ini dijuluki dengan sebutan “oti Juanga” yang dihiasi ukiran kepala naga di bagian haluan dan ekor naga di buritan. Selain itu dihiasi pula dengan umbul-umbul dan bendera kebesaraan kesultanan.

Sementara perahu-perahu berukuran lebih kecil lainnya yang disebut “oti kora-kora ici” dinaiki oleh para kepala soa (Fanyira) yang selalu berdiri di haluan depan dan masyarakat umum lainnya sebagai penumpangnya. Dalam beberapa tahun terakhir ini diikutsertakan juga perahu modern seperti Speedboat viber untuk meramaikan kegiatan ini.
Kegiatan ritual adat ini diawali dengan mengitari pusaran kecil di perairan depan keraton kesultanan Ternate, dan biasanya seluruh rombongan armada mengitari perahu yang ditumpangi sang Sultan, Permaisurinya dan para pembesar kesultanan lalu disertai pembacaan beberapa doa khusus, masing-masing :
1). Khusus pada putaran pertama dibacakan doa “Asmih”, lalu
2). Pada putaran yang ke-2 dibacakan doa “Taiyyibi”, sedangkan
3). Pada putaran ke-3 dibacakan doa “Abdul Qadir Djaelani.
Pada kegiatan ritual adat kololi kie kategori hajatan kesultanan yang dilakukan secara besar-besaran (seperti yang terlihat dalam gambar-gambar ini), pembacaan doa-doa ini biasanya dilakukan oleh salah satu dari lima orang imam besar mesjid kesultanan. Pembacaan doa dilakukan di depan tempat duduk sang Sultan (Jou Kolano) dan Permaisuri (Jou ma Boki) yang sudah disiapkan di atas geladak salah satu perahu / kapal motor yang mereka tumpangi saat itu. Tempat duduk Sultan dan Permaisuri selalu dibungkusi dengan kain warna putih.

Untuk meramaikan suasana upacara ritual ini, sejak dahulu tiap perahu dilengkapi dengan berbagai alat musik, seperti tifa, gong, dan fiol (sejenis alat musik gesek) yang terus-menerus dikumandangkan untuk mengiringi sepanjang perjalanan rombongan armada Kololi Kie ini hingga selesai atau istirahat di Ake Rica.
Dalam perjalanan mengililingi pulau ini, rombongan perahu akan berhenti di beberapa tempat untuk melakukan tabur bunga dan memanjatkan doa. Tempat persinggahan yang agak lama dan biasanya peserta rombongan turun ke darat adalah di Ake Rica ini. Ritual adat ini merupakan bentuk penghormatan terhadap para leluhur kesultanan yaitu; Syai’idinaa Maulana Syekh DjaffarShaddiq sang pembawa agama Islam ke pulau ini.
Perlu digaris bawahi bahwa dalam ritual adat kololi kie di pulau Ternate ini, semua peserta yang ikut dalam pelaksanaan ritual ini akan melewati 4 (empat) sudut utama dari lingkaran pulau Ternate. Istilah untuk keempat sudut ini adalah “Libuku Raha” (libuku=sudut, raha=empat). Dalam ritual ini terdapat terdapat 13 (tiga belas) titik keramat yang wajib diziarahi sepanjang route mengelilingi pulau hingga kembali ke posisi semula. Keempat sudut utama yang disebut Libuku Raha ini adalah :
1). Tabam ma-Dehe
2). Buku Deru-Deru
3). Banding Mari Hisa
4). Foramadiyahi
Sedangkan ke-13 (tiga belas) titik keramat dimaksud tersebut, diantaranya adalah :
1). Kadato ma-Ngara
2). Jere Kubu Lamo
3). Libuku Tabam ma-Dehe
4). Jere Kulaba
5). Sao Madaha (di Sulamadaha)
6). Libuku Buku Deru-Deru
7). Libuku Bandinga Mari Hisa
8). Ruwa Ake Sibu (Ake Rica)
9). Jere toma Foramadiyahi
10). Ngade (gam ma duso)
11). Talangame
12). Benteng Oranye / Malayu Cim
13). Jere toma Sigi Lamo

Setelah tiga kali mengitari pusaran kecil di perairan depan keraton kesultanan, seperti yang penulis uraikan di atas, armada kololi kie ini memulai perjalanan ke arah utara yang berlawanan dengan arah jarum jam.
Setelah perjalanan sekitar 15 menit atau sekitar 6 km dari depan keraton kesultanan Ternate, rombungan armada kololi kie ini akan melewati “Jere Kubu Lamo” yakni makam keramat salah seorang sufi Ternate yang dahulu pada zamannya dikenal dengan sebutan “Joguru Lamo” (Joguru=Tuan Guru, Lamo=Besar) yang namanya asli tokoh ini sangat dirahasiakan oleh nara sumber yang penulis wawancarai. Pembacaan doa di pos pertama ini dilakukan sambil berlalu tanpa berhenti.
Menurut nara sumber penulis, seorang Joguru Lamo yang dimakamkan di sini dahulunya adalah guru tasawuf terkenal. Lokasi makam ini tepat berada beberapa puluh meter di belakang deretan kuburan di lokasi Taman Makam Pahlawan Banau di kelurahan Sangadji Ternate utara.
Doa-doa yang dibacakan pada tiap-tiap pos tempat keramat adalah doa “Akrim naa” yang disambung dengan lafadz Allahummaj al naa yaa maulaana alaika dzaa kiriin, kemudian dilanjutkan dengan doa “Tolak Bala”.
Sekitar 20 menit melewati jere Kubu Lamo ke arah utara, rombongan armada kololi kie tiba pada pos keramat berikut, yaitu “Libuku Tabam ma-Dehe”. Tempat ini oleh orang Ternate secara ritual adalah merupakan salah satu sudut pulau karena posisinya seperti sebuah tanjung.
Sepanjang perjalanan mengelilingi pulau, selain pada pos-pos keramat dibacakan doa-doa khusus yang sudah disebutkan di atas (=Asmih, Taiyyibi, Abdul Qadir Djaelani, Tolak Bala), juga dibacakan doa “Alhamdu Tarekat”, doa “Sawwabah”, doa ”Tahlil”, serta “Doa Salamat” dan “Doa Kie”.
Kurang lebih 10 menit dari tempat itu, peserta ritual adat kololi kie melewati perairan yang di pantainya terdapat bentangan bebatuan bekas lelehan lava gunung berapi Gamalama yang sudah membatu, yang disebut “Batu Angus” atau “Mari Hoku” oleh orang Ternate. Sekitar 500 meter dari tempat ini adalah rombongan melewati pos keramat yang ke empat, yakni “Jere Kulaba”.

Jere Kulaba adalah makam keramat salah satu dari beberapa orang sufi Ternate yang terkenal di masanya dengan peran utamanya adalah memperkokoh tegaknya syariat Islam di Ternate pada pada sekitar tahun 1705. Menurut keterangan dari salah satu nara sumber penulis Abdul Kadir Mailudu atau sering disapa Tete Baa (sudah almarhum), yang keterangannya diperoleh penulis beberapa tahun lalu, terungkap bahwa nama pemilik makam dengan batu nisan tertinggi di Jere Kulaba ini adalah seorang ahli tasawuf Ternate yang hidup sekitar akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18 Masehi, yang bernama; “Syekh Abdul ibnur-Rachmanyang bernama asli Ternate adalah; Dumade”.
Tidak semua orang di sini tahu nama makam keramat yang sangat sering diziarahi penduduk Ternate ini. Semua penduduk Ternate hanya tahu makam keramat ini dengan sebutan Jere Kulaba saja. Sengaja penulis tuliskan dan publikasikan nama yang sangat dirahasiakan oleh orang tua-tua ini dengan tujuan agar generasi muda Ternate juga mengetahuinya.
Makam ini sangat terkenal di seantero pulau Ternate dan pulau sekitarnya. Makam keramat ini memiliki batu nisan tertinggi di pulau Ternate, yakni kurang lebih hampir 1,7 meter atau setinggi tubuh orang dewasa. Orang banyak sering menyebutnya Jere Kulaba karena lokasinya berada tepat di belakang desa Kulaba di pulau Ternate.
Kira-kira sekitar 20 hingga 30 menit meninggalkan tempat itu rombongan perahu ini melewati salah satu tempat keramat di desa sulamadaha yakni “Sao Madaha”. Tempat yang dianggap keramat ini berada di dalam sebuah teluk kecil di ujung desa ini.
Nun jauh di atas di lereng pegunungan gunung Gamalama terdapat sebuah bukit yang disebut dengan “Buku Deru-Deru”. Bukit ini oleh orang Ternate secara ritual juga dianggap sebagai salah satu sudut pulau dari empat sudut (Libuku Raha) yang ada di pulau ini. Sambil melewat tempat ini juga dilakukan pembacaan doa khusus oleh salah satu Imam yang turut menumpangi perahu Sultan berada.
Sekitar 20 menit dari tempat ini rombongan tiba di perairan desa Bandinga. Tempat ini juga dianggap oleh masyarakat Ternate merupakan sudut pulau yang ketiga yang dikenal “Libuku Bandinga Mari Hisa”. (mari=batu, hisa=pagar). Libuku Bandinga Mari Hisa ini merupakan salah sudut pulau yang dianggap keramat dimana pulau Ternate dibagi dua dengan patokan posisi awal dari depan Keraton kesultanan Ternate. Artinya rombongan upacara ritual kololi kie ini sudah melewati separuh lingkaran keliling pulau Ternate (50 %).
Pada masing-masing tempat-tempat yang disebutkan ini juga dilakukan pembacaan doa-doa khusus, tapi tidak berhenti, yakni dibacakan doa sambil berlalu.
Selain berhenti di beberapa tempat sambil memanjatkan doa-doa khusus, Sultan dan rombongan armada kololi kie ini juga akan turun ke darat di desa Ruwa setelah sekitar 20 menit melewati Libuku Bandinga Mari Hisa.


Segera setelah seluruh armada merapat ke tepian pantai, Sang Sultan dan Permaisuri disambut dengan melakukan upacara “Joko Kaha” (joko=injak, kaha=tanah), yaitu upacara penyambutan yang dilakukan oleh masyarakat adat sekitar desa Rua dan Monge yang sudah sejak dari tadi berjejer di tepian pantai “Ake Rica” yang ada diantara dua desa itu. Dahulu nama ake rica ini dikenal dengan sebutan “Ake Sibu”.
Sebagian masyarakat menuju ke sebuah kolam sumber air kecil yang berada di seberang jalan raya yang membentang sepanjang pantai Ake Rica ini. Kolam kecil dengan sumber air yang tak pernah habis ini diyakini dan dipercaya sebagai tempat mandinya para bidadari di jaman dahulu ketika masa kedatangan Sayyidinaa Syekh Djaffar Shaddiq, sang pembawa agama Islam ke pulau ini. Di tempat ini sebagian masyarakat mengambil air dari sumber air yang keluar dari celah bukit yang tumpah langsung ke kolam, ini, atau sebagian dari mereka sekedar mencuci dan membasuh muka.
Setelah perahu-perahu merapat di tepi pantai, sang Sultan dan permaisuri akan turun untuk mencuci kaki dan menginjakkan kakinya pada segengkam rumput Fartago yang sudah disiapkan di atas piring kecil.
Rombongan lalu disambut secara adat oleh para tetua desa dan disuguhi berbagai hidangan makanan adat yg lezat, seperti nasi kuning, ayam bakar, serta ikan bakar. Upacara penyambutan rombongan ini diiringi oleh alunan berbagai alat musik pukul dan gesek tradisional. Suguhan ini menggambarkan pengakuan masyarakat Ternate terhadap kebesaran sang Sultan dan kerajaannya.
Setelah menikmati hidangan yang ada, Sultan dan Permaisuri beserta seluruh rombongan upacara ritual ini melanjutkan pelayaran mengelilingi Gunung Gamalama dan pulau Ternate. Selama perjalanan, peserta ritual adat kololi kie, rombongan armada ini selalu memperoleh sambutan meriah dari masyarakat yang menyaksikan iring-ringan perahu dari tepi pantai sambil melambai-lambaikan tangannya kepada rombongan sang Sultan yang melewati kampungnya.
Tak hanya itu, sepanjang perjalanan, jika cuaca baik, banyak pemandangan indah laut Ternate yang tenang bias dinikmati, indahnya deretan pulau-pulau kecil di sekitar Ternate, serta keanggunan sosok gunung Gamalama tak akan mudah dilupakan oleh mereka yang mengikuti pelayaran sakral ini. Banyak peserta perjalanan dalam acara ritual ini mengabadikan setiap moment dengan camera dan handycam yang dimilikinya masing-masing.
Sekali lagi dijelaskan, bahwa selama melalukan perjalanan mengelilingi pulau ini, iring-iringan perahu tiap “Soa” (kampung) dilengkapi dengan alat musik Tifa, Gong dan Fiol (alat musik gesek), suasana adat dan tradisional sangat terasa dalam perjalanan ini.
Selepas dari tempat Ake Rica ini, rombongan armada melanjutkan perjalanan yang kurang lebih sudah mencapai 50 % dari lingkarang keliling pulau Ternate. Kira-kira sekitar 25 menit, rombongan melewati pemukiman Foramadiyahi yang terletak jauh di atas lereng gunung Gamalama. Di tempat ini terdapat makam Sultan Babullah ibn Khairun Djamilu sang legendaris pengusir penjajah dari bumi Ternate. Dari kejauhan di laut, rombongan ini melakukan pembacaan doa-doa khusus untuk makam ini.


Selanjutnya beberapa saat setelah meninggalkan tempat itu, rombongan melewati sebuah danau laguna yang berada di pantai selatan bibir pulau ini. Danau laguna ini oleh orang Ternate disebut “Danau Ngade”. Rombongan juga melakukan pembacaan doa-doa khusus ketika melewati tempat ini tanpa berhenti atau singgah.
Kira-kira 15 menit setelah melewati danau Ngade ini, arah rombongan sekarang sudah mengarah ke timur laut yakni kira-kira sudah 75 % menyelesaikan perjalanan ini. Saat ketika melewati daerah pesisir pantai Talangame (sekarang kelurahan Bastiong), juga dilakukan pembacan doa-doa khusus.

Sepuluh menit dari pesisir pantai Talangame, rombongan mulai memasuki pesisir kota Ternate, dan arah perjalanan rombongan sudah menghadap ke utara. Perjalanan keliling pulau ini sudah mencapai 90 %. Setelah melewati mesjid raya Ternate Al-Munawar, dibacakan pula doa khusus ketika sedang melewati kawasan Malayu Cim (Benteng Oranye dan sekitarnya). Rombongan armada melewati perairan di pusat kota Ternate.
Perjalanan ritual adat kololi kie ini tinggal kira-kira 15 menit lagi. Sekitar satu kilometer menjelang tempat pemberhentian di pelabuhan Dokoku Ali (tempat memulainya perjalanan ini) dari laut dibacakan doa khusus untuk beberapa makam para Sultan Ternate yang berada di daratan tepatnya di dalam kompleks mesjid kesultanan, makam-makam disebut oleh orang Ternate dengan “Jere Sigi Lamo” (Makam raja di Mesjid Sultan).
Perjalanan ritual adat selama kurang lebih empat jam ini kemudian berakhir dan kembali ke Jembatan Dodoku Ali, tempat dimana perjalanan ritual ini dimulai di pagi hari.

CATATAN AKHIR PENULIS

Dalam kurun waktu sekitar 6 tahun terakhir ini, ritual adat kololi kie ini dilaksanakan dalam rangkaian acara tahunan, yaitu pada Festival Legu Gam Moloku Kie Raha, yang dilaksanakan setiap bulan April menjelang ulang tahun Sultan Ternate (Sultan Haji Mudaffar Sjah II). Dalam festival ini, selain dapat mengikuti pelayaran ritual adat kololi kie, wisatawan juga dapat menyaksikan berbagai pertunjukan kesenian, karnaval budaya, pameran kerajinan, serta berbagai perlombaan tradisional khas Maluku Utara.
Untuk menuju tempat pelaksanaan tradisi ritual adat kololi kie ini di kota Ternate, para wisatawan baik domestik maupun wisatawan mancanegara dapat menempuh perjalanan udara baik dari Ambon, Manado, Makassar, Sorong maupun langsung dari Jakarta menuju ke bandara Sultan Babullah di pulau Ternate. Selain melalui jalur udara, para wisatawan juga dapat memanfaatkan fasilitas pelayaran kapal-kapal Pelni dari berbagai pelabuhan di Nusantara yang merapat di Pelabuhan Laut Achmad Yani Ternate.
Selain itu, terdapat tiga pelabuhan lain di kota Ternate yang melayani pendaratan kapal-kapal sedang, yaitu Pelabuhan Fery, Pelabuhan Dufa-Dufa untuk kawasan utara serta Pelabuhan Bastiong untuk kawasan selatan. Dari bandara Sultan Babullah maupun dari pelabuhan laut Achmad Yani Ternate, atau dari ketiga pelabuhan sedang tersebut, para wisatawan dapat memanfaatkan angkutan kota atau taksi untuk sampai ke jembatan Dodoku Ali yang berada tepat di halaman alun-alun Keraton Kesultanan Ternate, yang menjadib lokasi permulaan atau tempat start kegiatan tradisi ritual adat kololi kie ini.
Dari gambaran pelaksanaan tradisi kegiatan kololi kie yang penulis gambarkan di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi ini adalah sebuah kebiasaan masyarakat yang bersifat ritualistis karena pelaksanaannya tidak sekedar mengitari pulau ini, tapi harus dipandu dan dipimpin oleh orang yang mengetahui seluk beluk ritual ini. Kegiatan ritual kololi kie ini bukan sekedar aktivitas seremonial belaka, melainkan banyak makna yang tersirat dan tersurat yang mungkin bisa kita petik. Mungkin pula tradisi ritual seperti ini ada juga di tempat-tempat lain di nusantara ini, tapi dengan nuansa dan sebutan yang mungkin berbeda pula.
Apapun yang dikatakan orang, apapun yang anda komentari setelah membaca tulisan ini, namun pada kenyataannya tradisi ritual adat ini masih tetap bertahan di pulau ini hingga hari ini. Persoalannya, sejauh manakah tradisi ini bisa tetap bertahan dikala derasnya hempasan arus modernisasi yang melanda seluruh pelosok bumi ? Wallahu wa’lam…..!
Semoga tradisi khas Ternate ini tetap lestari. Harapan penulis, semoga event tahunan ini turut mewarnai promosi dan upaya mengangkat nilai jual pariwisata budaya Ternate ke daerah-daerah lain di Indonesia maupun ke manca Negara.
sumber : ternate.wordpress.com

Kamis, 05 Agustus 2010

Tabuik ,Tradisi Sakral Masyarakat Pariaman


Tabuik Ketika diarak Keliling Kota Pariaman

Menurut orang tua-tua di Pariaman,konon budaya tabuik ini dibawa ke Pariaman oleh penganut syi,ah yang berasal dari Timur Tengah,untuk peringatan perang Karbala.Akan tetapi dalam pelaksanaannya upacara tabuik ini lebih banyak untuk menyatakan rasa duka yang mendalam serta hormat umat Islam di Pariaman kepada cucu Nabi Muhammad SAW Hussain yang gugur di Padang Karbala oleh pasukan Yazid bin Muawiyah dari dinasti ummayah.
Nama tabuik ini berasal dari kata Tabut (bahasa arab) yang berarti mengarak.Upacara tabuik ini telah diselenggarakan oleh masyarakat Pariaman secara turun temurun sejak dahulunya (kapan dimulainya tidak diketahui)di selaksanakan pada hari asura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram pada calendar Islam dan digelar setiap tahun sebagai agenda pariwisata kota Pariaman.

Suasana Ketika Tabuik dilarung ke Laut
Upacara Ritual Tabuik.
Dua minggu sebelum upacara warga Pariaman mempersiapkan/membuat dua buah tabuik,yaitu berupa bangunan seni yang dihias sedemikan rupa,badannya berbentuk kuda berkepala manusia yang juga ada sayapnya,konon ini sebagai perlambang binatang ghaib “buraq” (dalam kepercayaan islam binatang inilah membawa Nabi Muhammad SAW terbang ke langit ketujuh pada waktu isra’ miraj).
Selain membuat Tabuik warga pariaman juga menjalankan ritual lainnya yaitu membuat kue-kue dan puasa.
Pada hari pelaksanaan mengarak tabuik,sejak pagi keramaian telah terasa di kota Pariaman.Seluruh peserta dan kelengkapan upacara dipersiapkan untuk di arak keliling kota Pariaman.Warga Pariaman berkerumun di pinggir jalan untuk menyaksikan arak-arakan tabuik yang hangar bingar dengan suara peserta tabuik yang meneriakkan “Hayya Hussain… Hayya Hussain!!!”sebagai rasa hormat kepada cucu Nabi Muhammad SAW itu.Teriakkan itu di tingkahi pula oleh suara gendang tassa(gendang khas Pariaman) yang membahana.
Ya upacara mengarak tabuik memang merupakan suatu karnaval  yang meriah,energik dan penuh semangat serta sacral.
Arak-arakan ini sesekali berhenti,pada sat ini beberapa pemain silat menujukan kebolehannya kepada khalayak ramai.
Para Pemain Gendang Tassa

Saat matahari terbenam tiba, arak-arakan pun berakhir. Kedua Tabuik dibawa ke pantai Pariaman dan selanjutnya dilarung ke laut. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan bahwa dibuangnya Tabuik ini ke laut, dapat membuang sial. Di samping itu, momen ini juga dipercaya sebagai waktunya Buraq terbang ke langit, dengan membawa segala jenis sesaji yang ada di dalam tabuik tersebut.

Sumber foto : google

Batombe, Budaya Khas Masyarakat Nagari Abai


Batombe,tradisi berbalas pantun Masyarakat Nagari Abai

Doeloe, batombe menjadi penyemangat orang-orang yang sedang bekerja mengambil kayu di hutan untuk membuat rumah gadang. Kini, tradisi budaya ini tetap dilestarikan untuk acara pesta perkawinan, pengangkatan datuak, dan upacara adat lain, termasuk sebagai sajian khusus untuk rombongan wisatawan yang berkunjung ke Nagari Abai.

Jauh sebelum masa penjajahan Belanda, Nagari Abai masih begitu sunyi. Wilayahnya diselimuti hutan belantara berikut satwa liar yang hidup bebas di dalamnya. Penduduknya masih sedikit, hanya terdiri dari beberapa keluarga yang hidup rukun, tenang, dan bersahaja. Suatu hari, pemuka adat, agama, dan tokoh masyarakat Abai berkumpul. Mereka membicarakan sesuatu `proyek' besar, yakni membuat rumah gadang (besar) pertama di Nagari Abai. Maksud dan tujuan pembuatan rumah gadang tersebut untuk menjaga keselamatan warga dari binatang buns, rumah tinggal, sekaligus tempat pertemuan, dan pusat seni dan budaya masyarakat Abai. Maklum meskipun hidup di pelosok, jauh dari keramaian, masyarakat Abai memiliki cara menghibur sendiri untuk mengusir sepi. Dalam pertemuan itu, mereka akhirnya mufakat untuk membuat rumah gadang. Bahan bakunya diambil dari hutan yang ada di sekeliling tempat tinggal mereka.

Pagi itu, Nagari Abai tidak seperti biasanya. Di tepi hutan, masyarakat berkumpul. Ada orang tua, muda-mudi, dan anak-anak. Semua nampak sibuk dengan tugas masing-masing. Kaum pria dewasa membawa alat-alat untuk menebang kayu. Mereka menuju hutan untuk menebang pohon besar secara bergotong royong. Sebagian lagi membersihkan batang pohon untuk dijadikan tiang. Batang pohon lainnya dipotong-potong menjadi balok, papan, dan sebagainya. Sementara kaum ibu menyiapkan makanan dan minuman ala kadarnya.

Pemain perempuan sedang berbalas pantun

Tak terasa matahari sudah di atas kepala. Mereka pun beristirahat sejenak sambil menikmati makan siang bersama. Ketika itulah beberapa muda-mudi termasuk orangtua berpantun irama seperti sedang melantunkan lagu. Pantun yang mereka bawakan berisi kata-kata semangat. Kemudian mereka menari bersama. Tarian mereka energik. Pantunan dan tarian yang mereka bawakan itu kemudian dikenal dengan batombe. Mereka sengaja menampilkan batombe agar kaum pria yang sedang bekerja membuat rumah gadang kembali bersemangat mengambil kayu di hutan.

Pemain laki-laki sedang berbalas pantun

Saat mengambil kayu di hutan, ada kejadian aneh. Sebatang kayu usai ditebang tidak bisa ditarik untuk dijadikan tiang rumah gadang. Kemudian warga Abai menyembelih seekor kerbau. Akhirnya kayu tersebut bisa ditarik oleh beberapa warga Abai dengan menggunakan tali panjang. Sejak kejadian itu, dalam penyelenggaraan batombe selalu menyembelih kerbau atau sapi minimal seekor kambing. Kalau tidak dikenai denda adat. Dengan kata lain berhutang.

Setelah beberapa hari bekerja keras secara gotong royong, akhirnya rumah gadang yang diimpikan rampung. Masyarakat Abai pun bergembira dan bangga bisa menyelesaikan rumah gadang pertama di nagarinya.

Itulah makna sejati, awal kesenian batombe di Nagari Abai, yakni menyemangati orang-orang yang mengambil kayu di hutan untuk membangun rumah gadang pertama di Abai. Dewasa ini, rumah gadang tersebut menjadi rumah gadang terpanjang di Sumatera Barat yang dikenal dengan sebutan Rumah Gadang 21 Ruang.

Kini batombe mengalami perubahan makna. Maklum semenjak tahun 60-an, sudah tidak ada lagi pembangunan rumah gadang di daerah ini. Kendati begitu tradisi batombe tetap dilestarikan, namun dipakai untuk hiburan pada pesta perkawinan dan upacara-upacara adat lain yang dalam penyelenggaraannya minimal membantai seekor jawi (sapi). Dan kini batombe pun menjadi suguhan khas kesenian lokal untuk para wisatawan yang berkunjung ke Nagari Abai.

Tari muda mudi dalam tradisi batombe

Menurut buku profil Budaya dan Pariwisata Kabupaten Solok Selatan, hasil kerjasama Bapedda Solsel dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi Padang, batombe adalah salah satu bentuk kesustraan Minangkabau yang dimiliki oleh masyarakat Abai. Batombe ini adalah sejenis pantun yang berfungsi sebagai sebuah ungkapan rasa dan perasaan hati yang memiliki makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Abai. Dengan kata lain batombe merupakan seni berbalas pantun antara pria dan perempuan yang kemudian menjadi budaya Minangkabau yang sakral. banyak keunikan di dalam batombe, salah satunya adanya kesempatan seorang pemain batombe untuk mendapatkan jodoh dengan cara membalas pantun secara spontan.


 Seperti sore itu, ketika beberapa orang Jakarta berkunjung ke Nagari Abai. Batombe pun disajikan di dalam Rumah Gadang 21 Ruang yang masih berdiri kokoh. beberapa warga nampak berkumpul di depan rumah gadang yang berada di tepi jalan utama. Tak berselang lama, warga yang datang semakin banyak. Mereka berdatangan setelah mendengar ajakan tokoh masyarakat lewat pengeras suara untuk berkumpul di rumah gadang tersebut.

Di ruang dalam Rumah Gadang 21 Ruang, juga sudah ada beberapa warga Abai, baik orang tua maupun anak-anak. Beberapa orang terlihat sibuk mempersiapkan alat pengeras suara yang akan dipergunakan untuk para pelantun batombe.

Di ruangan khusus yang digunakan untuk pertunjukan batombe dihias sedemikian rupa. dinding dan plafonnya dilapisi kain bermotif kotak, segitiga, dan garis berwarna merah, kuning, hijau, putih, biru dan hitam. Bagian atapnya dihiasi potongan-potongan kain yang menjuntai ke bawah dengan warna-warni cerah. Begitu pun pintu masuknya diberi hiasan kain berbentuk pintu melengkung aneka corak dan warna meriah. Sedangkan sebuah tiang kayu yang ada di tengah ruangan itu, dibiarkan telanjang apa adanya.

Di dalam ruangan yang diberi lampu penerang listrik itu, juga sudah berkumpul para pemain batombe dan warga Abai. Mereka duduk bersila dengan tenang di atas lantai beralas tikar berwana cerah pula. Para pemain batombe mengenakan pakaian khusus, sepintas mirip pakaian pemain pencak silat. Bedanya, pakaian berlengan panjangnya diberi motif sulaman benang emas di bagian leher dan lengan. Warna pakaiannya pun bermacam-macam, ada merah, hijau dan hitam yang dilengkapi ikat kepala berwarna kuning keemasan serta sehelai kain yang diikatkan dipingang. Sedangkan celana panjangnya dirancang komprang atau lebih besar pada bagian pahanya, seperti sarung.

Tak lama kemudian tokoh masyarakat setempat memberi sambutan sebagai pengantar sekaligus ucapan selamat datang kepada para tamu. Lalu para pemain batombe saling berpantun irama dengan menggunakan bahasa daerah setempat. Isinya tentang kisah nasihat orangtua kepada anak, pergaulan, percintaan, dan sebagainya. Pantun ini dilakukan secara bergantian. pertama dilakukan olek pria kemudian disusul wanitanya. Sayangnya dalam pertunjukan ini tidak ada sinopsis yang menceritakan tentang isi pantun tersebut. Alhasil, tamu dari Jakarta yang tidak mengerti bahasa setempat kesulitan menangkap isi pantun.

Usai berpantun, kemudian para pemain batombe keluar dari ruangan, diikuti warga dan tamu yang hadir. Di luar Rumah Gadang 21 Ruang, hari sudah gelap. Lampu listrik yang ada di ruangan dalam pun dipindahkan ke luar sebagai penerang, begitu juga alat pengeras suaranya yang kemudian ditempatkan di alas meja kayu. Beberapa warga Abai sudah sedari tadi berkumpul. Mereka begitu antusias menyaksikan sajian batombe selanjutnya. Maklum mereka jarang mendapat hiburan, wajar kalau setiap ada penyelenggaraan batombe selalu ramai disaksikan warga Abai. Seperti malam itu, mereka ada yang duduk dan berdiri di pintu masuk, di tepian, dan luar pagar rumah gadang. Beberapa orang lagi menyaksikan batombe dari dalam rumah gadang lewat jendela yang bertirai kawat hitam.

Tak lama kemudian, sembilan pria dan tiga orang perempuan pemain batombe membentuk lingkaran. Satu orang pria lagi berada di tengah lingkaran sebagai penyanyi. Kemudian mereka melakukan gerakan berputar dan kemudan berbalik namun tetap dalam bentuk lingkaran sambil bernyanyi. Gerakan penari lelaki sesekali memukul bagian celananya yang komprang dengan kedua tangan seolah bertepuk tangan sehingga menimbulkan suara khas, bugh-bugh-bugh.

Semakin lama gerakan mereka semakin cepat dan dinamis. Warga yang menyaksikan batombe semakin hanyut. Beberapa bocah laki-laki dan perempuan turut bernyanyi dan mengikuti gerakan pemain batombe. Bukti bahwa mereka ikut terhibur dengan sajian batombe. Dan kelak, bisa jadi bocah-bocah itu menjadi pemain batombe selanjutnya. Secara keseluruhan batombe memang menarik dijadikan suguhan bagi rombongan wisatawan yang berkunjung di Nagari Abai.

  Namun yang perlu diperhatikan, durasi berpantun dan menarinya jangan terlalu panjang agar tidak membosankan penonton. Selain itu, sebaiknya dalam pementasan batombe disertai dengan penterjemah dan sinopsis berbahasa Indonesia maupun Inggris yang menjelaskan mengenai sejarah batombe dan isi pantunnya yang dibagikan kepada wisatawan. Lebih baik lagi kala sinopsisnya itu dibuat beberapa versi bahasa asing lain sesuai dengan asal negara wisatawan yang datang secara individu maupun rombongan.

Untuk melihat kesenian batombe ini kita bisa berkunjung ke Rumah Gadang 21 Ruang yang berada Nagari Abai, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Dahulu untuk menuju daerah ini masih banyak mengalami kesulitan lantaran jalannya belum beraspal. Kini, kondisi jalannya sudah baik dan bisa dilalui oleh kendaraan beroda empat maupun beroda dua. Kalau Anda berangkat dari Jakarta, ambil pesawat tujuan Padang. Dari Bandara Internasional Minagkabau (BIM), Kota Padang, Anda bisa mencarter mobil travel ke Padang Aro, Ibukota Kabupaten Solok Selatan. Selanjutnya ke Nagari Abai sekitar 30 Km dari Padang Aro.

Sumber : CBN.net

Maulid Akbar, Warga Berebut Makanan

Ribuan warga ini Minggu (16/05) siang memadati halaman masjid Raya Banda Aceh untuk menghadiri Maulid Akbar, yang diadakan pemerintah Aceh. Kenduri peringatan hari raya Maulid Nabi Muhammad Sallawlah Wa'alahiwasalam ini memang diadakan untuk jamuan anak yatim dan fakir miskin.

Selain jamuan makam, peringatan maulid juga diisi dengan ceramah agama yang diisi oleh Tenku Adnan Ahmad Bakongan yang kini usianya sudah mencapai 105 tahun.

Seperti kenduri biasanya, kenduri diakhiri dengan rebutan makanan di kalangan warga khususnya para kaum ibu. Akibatnya beberapa kaum manula terlihat lemas karena berdesak desakan.

Bagi warga Aceh, kenduri maulid merupakan kenduri akbar yang sama khidmadnya dengan peringatan hari raya Idul Fitri atau hari raya Idul Adha.(Despriani Zamzami/Her)

sumber :www.indosiar.com

Pesta Impun, Ribuan Warga Berebut Ikan Teri


Di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat ada seubah pesta yang bernaman pesta Impun. Impun ini bukan seperti pesta lainnnya namun sebuah tradisi menangkap ikan impun. Yakni sejenis ikan teri yang pada bulan Juli ini melimpah di pesisir pantai Pelabuhan Ratu. Ribuan warga mulai dari anak anak dan orang tua menjaring ikan teri ini yang hasilnya lumayan menjadi rejeki tambahan.
Ribuan warga ini bukan berwisata menikmati indahnya pantai Pelabuhan Ratu di Sukabumi, Jawa Barat. Mereka adalah warga sekitar yang berlomba mencari ikan Impun. Sejenis ikan teri yang biasanya mulai banyak sepanjang bulan Juli ini atau bulan Maulud.

Baik anak anak maupun orang tua membaur disekitar hilir sungai cimandiri, cisolok, dan Sukamayana hingga sungai Cibareno yang berbatasan dengan Banten.

Menangkap impun ini sudah menjadi tradisi dan sangat ditunggu tunggu warga. Karena memberi rejeki tambahan.

Harga ikan ini cukup menggiurkan. Satu gelasnya Rp 7000. Dalam sehari para pemburu ikan impun bisa meraup uang Rp 100.000 - Rp 300.000. Mumun dan Ratno bahkan jauh jauh datang ke Pelabuhan Ratu untuk mencari ikan impun.

Selain di konsumsi sendiri, mereka juga menjualnya. Untuk mencari ikan impun ini, mereka sanggup tinggal 1 - 2 minggu.

Meskipun ombak pantai Pelabuhan Ratu terkenal ganas dan berbahaya, ribuan warga ini seolah tidak perduli. Mereka bahkan tambah semangat karena gulungan ombak yang besar malah membawa ikan yang banyak menepi ke pantai.

Pesta impun ini sendiri biasanya akan berakhir bila bulan Maulud sudah mau habis. Karena bulan lain, ikan ini sangat sulit didapatkan.(Wulan Saptu Hadi/Her)

sumber : www.indosiar.com

Tradisi Bersyukur, Pesta Bakar Batu


Sungguh indah, dibingkai hutan belantara dan aliran sungai panjang. Meski sebagian besar belum terjamah sentuhan teknologi, namun ada kehidupan. Suku-suku pedalaman Papua merajut makna hidup kesehariannya di sini. Kaum adam masih mengenakan koteka, sedangkan kaum hawa berpakaian noken dan bertaskan moge.
Sebagian masih berpindah-pindah tempat, atau semi nomaden. Rumah mereka dibangun di atas pepohonan. Dibalik itu semua, suku-suku pedalaman ini menyimpan kekayaan tradisi dan budaya, yang khas dan unik.
Seperti suku-suku lainnya di Indonesia, suku-suku pedalaman Timika, di Papua Selatan, juga mempunyai tradisi bersyukur yang unik dan khas. Salah satunya adalah pesta bakar batu. Pesta ini berasal dari suku pegunungan. Uniknya, dalam proses memasak, makanan dimasak dengan batu, yang dipanaskan terlebih dulu. Pesta memasak ala tradisional ini dibagi dalam tiga tahap. Yakni persiapan, bakar babi, dan puncaknya saat makan bersama.
Persiapan diawali dengan masing-masing suku menyerahkan babi, sebagai persembahan. Peserta pesta yang lain berkumpul mengelilingi tempat acara, sambil menari-nari.


Lalu secara bergiliran, kepala suku memanah babi. Bila sekali panah babi langsung mati, pertanda acara akan sukses. Bila tak langsung mati, diyakini ada yang tak beres dengan acara tersebut. Di tempat lain, kaum ibu sibuk menyiapkan tempat pembakaran. Dibuatlah lubang setinggi lutut. Dasar lubang lalu dilapisi rumput-rumputan dan daun pisang. Sementara di tempat terpisah, batu-batu berukuran sedang, dibakar dengan kayu hingga panas.
Dengan menggunakan jepit kayu khusus, yang disebut apando, batu-batu panas itu disusun di atas daun-daunan. Diatas batu-batu panas inilah irisan-irisan daging babi dimasak, bersamaan dengan sayur-sayuran dan ubi. Diatasnya diletakkan lagi batu-batu panas. teratas, lapisan daun pisang ditaburi tanah, sebagai penahan agar uap panas dari batu tidak menguap. Proses memasak ini berlangsung hingga satu setengah jam.
Gundukan batu mulai dibongkar. Daging babi, ubi dan sayuran yang sudah matang itu siap dihidangkan. Tujuh suku, Kamoro - Amungme - Dani - Ekari, Mee - Damal - Nduga dan Moni, duduk secara berkelompok, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Inilah acara makan bersama sebagai puncak acara pesta bakar batu. Semua hidangan disantap habis, tak ada yang tersisa.
Makna lain pesta bakar batu, sebagai ungkapan rasa saling mema`afkan diantara mereka. Pesta bakar batu yang awalnya hanyalah tradisi keluarga itu, kini memang telah merakyat, dikenal seluruh suku di tanah cendrawasih ini.(Idh)

sumber : www.indosiar.com